RUMAHKU DI KAWASAN ELITE
Kring…kring…kriinggkriiiiinnngggggggg….suara jam beker tuanya bordering. Dia perlahan-lahan membuka matanya, terlihat seberkas cahaya di sudut kamarnya. Masih terasa sulit untuk membuka matanya lebar-lebar. Tapi terbesit dibenaknya, dia harus segera meninggalkan tempat tidurnya dan membantu ibunya. Dia adalah Alya seorang siswi SMA di sekolah yang cukup bagus di kotanya. Alya tinggal bertiga dengan ibu dan Safa adiknya.
Dideretan-deretan rumah mewah dan gedung-gedung yang menjulang langit berdiri tegak sebuah rumah sederhana disudut kota di kawasan elite. Disitulah Alya dan keluarganya tinggal. Walaupun Alya dari keluarga yang sederhana, tapi dia adalah anak yang pintar sehingga dia mendapatkan beasiswa. Alya juga sudah terdaftar sebagai salah satu calon mahasiswi disebuah Universitas ternama di Indonesia.
Assalamu’alaikum Alya…,suara Erin sahabat Alya. Alya dan Erin sudah seperti saudara saja, kemana-mana selalu bersama-sama.
Iya wa’alaikumsalam. Ada apa Rin pagi-pagi kesini?
Aku kan kemarin udah janji mau bantu kamu jualan.Hmmm….
Oh iya…masuk-masuk!!
Ibu Alya sudah lama menjadi penjual gorengan. Itu beliau lakukan untuk menghidupi kedua anaknya. Setelah suaminya tiada sejak tiga tahun yang lalu, beliau yang menjadi kepala keluarga menggantikan almarhum suaminya, banting tulang untuk anak-anaknya. Diusianya yang sudah senja tak menyurutkan keinginannya untuk menyekolahkan kedua anaknya setinggi-tingginya.
Alya dan Erin membantu ibu membuat gorengan. Tak lama kemudian Alya dan Erin berkeliling kompleks menjajakan gorengannya.
“ Gorengan….gorengan…”
Belum ada satupun pembeli, mereka tetap melanjutkan berjualan keluar kompleks. Itu semua tak menyurutkan langkah mereka. Tak peduli walau bercucuran keringat karena ganasnya matahari.
“ Gorengan…..gorengan..gorengan bu…gorengan pak….”
“ Mbak..mbak…gorengannya 5000 ya??”
“ Iya bu, ini terimakasih.”
“ Dek…dek…itu gorengannya saya beli semua.”
Lumayan setelah berkeliling cukup lama akhirnya laku semua. Alhamdulillah. Alya menghela nafas dan tersenyum lega.
Rasa lelah setelah berpanas-panasan menantang matahari dan berjalan sejauh itu tak membuat Alya berhenti sampai disitu. Setiba di rumah Alya membantu ibunya mencuci baju. Untuk memenuhi kebutuhan lainnya ibunya rela menjadi tukang cuci baju. Tangan tuanya yang tak sekuat saat muda dulu terus membilas-bilas cucian. Beliau tak pernah mengeluh dengan keadaannya dan selalu mensyukuri nikmat yang telah diberi pada keluarganya. Mereka bercakap-cakap untuk sedikit menghilangkan rasa lelah.
“ Nak….ibu berharap kamu bias menerima semua keadaan ini dengan ikhlas. Ibu berharap kamu dan adikmu nantinya akan menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Selama ini mereka menganggap kita ini sampah. Kita memang hidup sederhana, tapi kesederhanaan itulah yang membuat kita bahagia. Semiskin-miskinnya hidup kita ini, kita juga masih punya harga diri.”
“ Iya bu, Alya selalu bersyukur kok dengan kesederhanaan ini. Hidup sederhana dan bahagia lebih baik daripada hidup serba ada tapi tak merasakan kebersamaan hidup bersama keluarganya.”
“ Haduh gag bisa konsen kalau gini caranya.Huuhhh…”, teriakan Safa dari dalam kamarnya. Yah memang seperti itulah setiap hari terdengar suara merdu orang berantemlah apalah di rumah sebelah. Rumah sebelah yang satu lagi tak mau kalah. Hmm..udah kayak paduan suara bersaut-sautan. Rumah-rumahnya elite tapi para penghuninya udah kayak kartun Tom and Jarry. Suasana seperti itu seakan-akan menjadi acara rutin yang wajib didengar.
***^T^***
Dinginnya malam menusuk tulang belulang. Udara malam tak mampu menggoda Alya untuk terlelap. Dikesunyian malam ia menatap kelangit lepas yang bertabur bintang. Tanpa sadar air mata membasahi pipi Alya. Ia terpaku sedih melihat rumahnya berjajar denagan rumah-rumah mewah. Bukan karena apa-apa, tapi karena dirinya dan keluarganya hanya dianggap sampah oleh para tetangganya. Rumah sederhana itu sempat akan digusur dan dijadikan rumah yang nantinya akan dibeli oleh orang-oarang berkelas. Tapi rencana itu hanya tinggal rencana saja. Rumah itu tetap berdiri tegak di kawasan elite di sudut kota.
Alya tetap bersyukur, bersyukur dan bersyukur serta menerima semuanya dengan apa adanya. Hidup sederhana di kawasan elite tak menyiutkan nyalinya, tak membuatnya kehilangan kebahagiaan. Justru kesederhanaan itulah yang membuat kehangatan, kedamaian, kebahagiaan di dalam keluarga. Berbeda dengan tetangganya yang orang-orang berkelas, para pejabat, mereka selalu berkonflik dan tidak pernah puas dengan kelebihan disegala hal yang mereka punyai saat ini. Berlebih-lebihan dan rasa ketidak puasan itu yang membuat kebahagiaan sirna dihidup mereka.
Pak Hadi Pratama tetangga Alya yang seorang pejabat tinggi kini sedang menjalani proses penyidikan dari pihak yang berwajib. Dia terlibat kasus korupsi. Kekayaannya yang melimpah ternyata hasil dari pekerjaannya yang merugikan orang lain.
Naudzubillah…
“ Aku yang hidup sederhana di kawasan elite seperti ini mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari sebuah kesederhanaan hidupku. Oh Tuhan….Engkau sungguh Maha Adil…”, sebait do’a Alya disholat malamnya.
(27/09/2011)
Comments
Post a Comment